Yohanna Anisa Indriyani Islamkan Ayah dan Tiga Adiknya
REPUBLIKA.CO.ID, Lahir dan dibesarkan di keluarga non-Muslim tak
membuat Yohanna Anisa Indriyani kehilangan kesempatan mengenal Islam.
Lingkungan sekolah dan sosialnya ternyata berpengaruh besar dalam membentuk jiwa gadis yang kini berusia 23 tahun ini.
Dari sekolah pula ia mengenal Islam, agama yang tak pernah ada di keluarganya. Dari sekolah pula, keinginannya untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam terus tumbuh dari hari ke hari.
Belum lekang dari ingatan Anisa bagaimana ia selalu mengikuti pelajaran agama di sekolah. Namun, bukan pelajaran agama yang saat itu ia anut, melainkan pelajaran agama Islam. Pelajaran agama Islam? Ya, begitulah adanya.
“Saat SD, guru agama membolehkan muid-murid non-Muslim untuk ikut belajar. Waktu itu dibebaskan untuk ikut atau tidak, dan saya pilih tetap di kelas dan ikut belajar. Saya nggak bisa baca Alquran waktu itu, jadi ya saya mendengarkan saja,” tutur Anisa mengenang.
Bagi kita yang lahir dalam kondisi Muslim, boleh jadi pelajaran agama Islam terasa biasa-biasa saja, tak ada sesuatu yang menantang. Tapi, tidak bagi Anisa. Bagi dia yang non-Muslim, mengikuti pelajaran agama Islam saja adalah hal yang menarik sekaligus menantang. Karena itu, ia tak jemu melakukannya. Mulai dari bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah, Anisa tak pernah absen mengikuti dan menyimak pelajaran agama Islam.
Kala itu, meski setia dengan pelajaran agama Islam, Anisa juga rajin ke gereja setiap Ahad. Ibundanya selalu mendorong dan menyemangatinya untuk taat beribadah Minggu. Anisa tidak menolak, namun ada pertanyaan besar yang memenuhi rongga kepalanya waktu itu. Ia merasa aneh karena ibadahnya tak sama dengan teman-temannya di sekolah. Ia terus bertanya-tanya, namun tak pernah ditanggapi serius oleh keluarganya karena dianggap masih bocah.
Suatu kali, ketika sedang mengikuti pelajaran agama Islam, ia sangat terkesan dengan ucapan sang guru. Sebuah ucapan yang menuntunnya ke arah jalan yang haq. “Ia mengatakan, seorang hamba ketika berdoa langsung saja kepada Tuhan, tanpa ada perantara, tanpa ada di depan kita patung dan sebagainya,” kata perempuan muda yang tinggal di Yogyakarta ini.
Walau begitu, Anisa tak langsung masuk Islam. Usianya masih terlalu kecil meski cahaya Islam telah terang-benderang menyinari lubuk hatinya. Ketika duduk di bangku SMP, ia selalu menyelinap masuk ke kelas pelajaran agama Islam.
Bahkan, ia berani mengaku sebagai Muslim saat guru agama menanyakan kelas agama mana yang akan ia masuki. Di usia remaja ini, pertanyaan-pertanyaan terkait Tuhan dan agama kian merasuki batin dan pikirannya. Barulah setelah duduk di bangku SMA, Anisa berani untuk menentukan sikap dan jalan hidupnya.
“Baru saat SMA benar-benar yakin Islamlah agama yang benar. Waktu itu, saya lebih pada keyakinan bahwa ketika kita berdoa nggak oleh ada perantara,” ujar Anisa yang bersyahadat pada 2005.
Keluarga pun berislam
Di keluarganya, Anisa adalah orang pertama yang masuk Islam. Bahkan, ketika ia sudah menjadi Muslim pun, ibundanya masih setia mengajak ke gereja setiap pekan. Menolak ajakan sang ibu, Anisa mengatakan bahwa Muslim cuma beribadah ke masjid, bukan di gereja, bukan pula di keduanya.
Kala itu, ibunya menganggap, keputusan Anisa untuk pindah agama hanya ikut-ikutan tanpa keyakinan yang nyata. Namun, lambat laun, hidayah yang diperoleh Anisa justru berdampak besar bagi keluarga. Ia tak pernah meminta apalagi mendesak keluarganya untuk memeluk satu-satunya agama yang diridhai Allah tersebut. Namun, tak disangka, ayah dan ketiga adiknya kemudian menyusulnya dan merasakan nikmatnya berislam.
Tentu, Anisa sangat bahagia dengan hidayah yang meliputi keluarganya. Kebahagiaan itu akan bertambah lengkap jika sang ibu juga berikrar menjadi Muslimah. Tapi rupanya, hingga saat ini wanita yang melahirkan Anisa ke dunia itu belum membuka hatinya untuk Islam.
“Ibu saya belum, ayah justru memeluk Islam setelah melihat saya mantap di agama ini. Adik-adik juga ternyata tertarik. Saya nggak ngajak mereka, tapi mereka mencari sendiri. Ternyata mereka juga tertarik Islam, alhamdulillah.”
Lingkungan sekolah dan sosialnya ternyata berpengaruh besar dalam membentuk jiwa gadis yang kini berusia 23 tahun ini.
Dari sekolah pula ia mengenal Islam, agama yang tak pernah ada di keluarganya. Dari sekolah pula, keinginannya untuk mengetahui lebih dalam tentang Islam terus tumbuh dari hari ke hari.
Belum lekang dari ingatan Anisa bagaimana ia selalu mengikuti pelajaran agama di sekolah. Namun, bukan pelajaran agama yang saat itu ia anut, melainkan pelajaran agama Islam. Pelajaran agama Islam? Ya, begitulah adanya.
“Saat SD, guru agama membolehkan muid-murid non-Muslim untuk ikut belajar. Waktu itu dibebaskan untuk ikut atau tidak, dan saya pilih tetap di kelas dan ikut belajar. Saya nggak bisa baca Alquran waktu itu, jadi ya saya mendengarkan saja,” tutur Anisa mengenang.
Bagi kita yang lahir dalam kondisi Muslim, boleh jadi pelajaran agama Islam terasa biasa-biasa saja, tak ada sesuatu yang menantang. Tapi, tidak bagi Anisa. Bagi dia yang non-Muslim, mengikuti pelajaran agama Islam saja adalah hal yang menarik sekaligus menantang. Karena itu, ia tak jemu melakukannya. Mulai dari bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah, Anisa tak pernah absen mengikuti dan menyimak pelajaran agama Islam.
Kala itu, meski setia dengan pelajaran agama Islam, Anisa juga rajin ke gereja setiap Ahad. Ibundanya selalu mendorong dan menyemangatinya untuk taat beribadah Minggu. Anisa tidak menolak, namun ada pertanyaan besar yang memenuhi rongga kepalanya waktu itu. Ia merasa aneh karena ibadahnya tak sama dengan teman-temannya di sekolah. Ia terus bertanya-tanya, namun tak pernah ditanggapi serius oleh keluarganya karena dianggap masih bocah.
Suatu kali, ketika sedang mengikuti pelajaran agama Islam, ia sangat terkesan dengan ucapan sang guru. Sebuah ucapan yang menuntunnya ke arah jalan yang haq. “Ia mengatakan, seorang hamba ketika berdoa langsung saja kepada Tuhan, tanpa ada perantara, tanpa ada di depan kita patung dan sebagainya,” kata perempuan muda yang tinggal di Yogyakarta ini.
Walau begitu, Anisa tak langsung masuk Islam. Usianya masih terlalu kecil meski cahaya Islam telah terang-benderang menyinari lubuk hatinya. Ketika duduk di bangku SMP, ia selalu menyelinap masuk ke kelas pelajaran agama Islam.
Bahkan, ia berani mengaku sebagai Muslim saat guru agama menanyakan kelas agama mana yang akan ia masuki. Di usia remaja ini, pertanyaan-pertanyaan terkait Tuhan dan agama kian merasuki batin dan pikirannya. Barulah setelah duduk di bangku SMA, Anisa berani untuk menentukan sikap dan jalan hidupnya.
“Baru saat SMA benar-benar yakin Islamlah agama yang benar. Waktu itu, saya lebih pada keyakinan bahwa ketika kita berdoa nggak oleh ada perantara,” ujar Anisa yang bersyahadat pada 2005.
Keluarga pun berislam
Di keluarganya, Anisa adalah orang pertama yang masuk Islam. Bahkan, ketika ia sudah menjadi Muslim pun, ibundanya masih setia mengajak ke gereja setiap pekan. Menolak ajakan sang ibu, Anisa mengatakan bahwa Muslim cuma beribadah ke masjid, bukan di gereja, bukan pula di keduanya.
Kala itu, ibunya menganggap, keputusan Anisa untuk pindah agama hanya ikut-ikutan tanpa keyakinan yang nyata. Namun, lambat laun, hidayah yang diperoleh Anisa justru berdampak besar bagi keluarga. Ia tak pernah meminta apalagi mendesak keluarganya untuk memeluk satu-satunya agama yang diridhai Allah tersebut. Namun, tak disangka, ayah dan ketiga adiknya kemudian menyusulnya dan merasakan nikmatnya berislam.
Tentu, Anisa sangat bahagia dengan hidayah yang meliputi keluarganya. Kebahagiaan itu akan bertambah lengkap jika sang ibu juga berikrar menjadi Muslimah. Tapi rupanya, hingga saat ini wanita yang melahirkan Anisa ke dunia itu belum membuka hatinya untuk Islam.
“Ibu saya belum, ayah justru memeluk Islam setelah melihat saya mantap di agama ini. Adik-adik juga ternyata tertarik. Saya nggak ngajak mereka, tapi mereka mencari sendiri. Ternyata mereka juga tertarik Islam, alhamdulillah.”