Surah Al-Ikhlas Mengantar Royston Boulter kepada Islam
Jeremy Ben Royston Boulter |
Oleh: Fitria Andayani
Jeremy Ben Royston Boulter percaya bahwa Tuhan semestinya tak membutuhkan perantara agar bisa berkomunikasi dengan manusia. Namun, agama yang dianutnya saat itu, sama sekali tak mendukung pemikiran itu. Tuhan yang dikenalnya seakan tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan hingga dia membutuhkan seorang manusia suci untuk membantunya.
Keraguan mengusiknya. Jeremy pun berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya itu. Semua buku sejarah bahkan buku-buku teori konspiratif tentang agama dan peradaban manusia dilahapnya. Ia pelajari sejarah Perang Salib, termasuk manuver Paus saat membangun kekuatan dan kekuasaan di Eropa melalui Portugis dan Spanyol.
Ia juga mempelajari pemerintahan teror ala Machiavelli. Demikian pula pemikiran Erich Von Daniken (Chariots of The Goods) dan Charles Berlitz dan William Moore (The Philadelphia Experiment) tentang teori konspirasi primitif.
Dia pun banyak membaca fiksi ilmiah. Semua bacaan tersebut meyakinkan dia bahwa ada yang salah dengan konsep ketuhanan yang dikenalnya selama ini. "Saat itu aku berpikir, aku membutuhkan perbandingan agama lainnya," kata dia.
Dia pun mulai mempelajari beberapa agama lain, seperti Hindu dan Buddha dan mengikuti ritual yang ada di dalamnya. Tapi lagi-lagi Jeremy menemukan pertanyaan yang membuatnya ragu untuk melangkah lebih jauh. "Ketika bicara tentang bagaimana dunia dan manusia tercipta, aku merasa aneh," tuturnya.
Tak puas, Jeremy kemudian mulai mempelajari astrologi demi mendapatkan esensi Tuhan. Melalui astrologi, ia berusaha memahami mengapa posisi benda langit akan menentukan nasib makhluk hidup. "Aku lalu menjadi peramal amatir," katanya.
Dia pun kemudian sadar bahwa segala isi alam memiliki sistemnya sendiri, tetapi ada satu hukum yang membuatnya berjalan seiring, sejalan, dan harmonis. Sebuah hukum semesta yang dikendalikan sosok yang berkuasa dan berkekuatan mahadahsyat.
Di tengah pencariannya terhadap Tuhan, Jeremy malah ditimpa masalah keuangan. Dia terjerat utang setelah memutuskan keluar dari pekerjaannya di British Council dan sekolah bahasa di Braga, Portugal. Di masa sulit itu, ia nekat meminjam uang di bank guna membeli rumah dan membuka usaha kecil-kecilan sebagai guru les bahasa Inggris.
Perlahan tapi pasti, usahanya merangkak naik. Sedikit demi sedikit, utangnya berkurang. Namun, Jeremy merasa butuh pemasukan lebih besar. Oleh istrinya, ia disarankan mencari pekerjaan di luar negeri. Merasa galau, Jeremy suatu malam berlutut dan berdoa kepada Tuhan yang tak didefinisikannya.
Ia curahkan segala masalah yang dihadapi. "Aku katakan pada-Nya, saya merasa putus asa. Aku merasa kesulitan menafkahi istri dan anak. Aku meminta pertolongan-Nya. Saat itu entah mengapa, aku merasa nyaman, dan akhirnya terlelap tidur," kenangnya.
Bekerja di Arab Saudi
Seakan doanya terjawab, esok harinya Jeremy menemukan sebuah lowongan pekerjaan di koran pagi. British Council membutuhkan tenaga untuk ditempatkan di luar negeri. Melihat iklan itu, sang istri menyarankan suaminya bekerja di Timur Tengah. Menurut sang istri, suaminya bakal mendapatkan gaji relatif tinggi di negara itu. Awalnya, Jeremy memilih Taiwan. Namun dia gagal. Dari pilihan yang ada, yang tersisa hanya universitas di Arab Saudi. Tak disangka, Jeremy diterima bekerja di negara itu.
Akhirnya, ia pun berangkat. Sebelum itu, beberapa temannya memperingatkan bahwa di Arab Saudi, ia tak akan bebas melakukan apa pun. Bahkan, sejumlah temannya menyarankan Jeremy agar mengurungkan niatnya bekerja di sana. Nyatanya, apa yang ditakutkan orang-orang itu tidak benar. Ketika menapakkan kaki di negara yang panas itu, Jeremy malah disambut hangat oleh masyarakat setempat.
Arab Saudi kemudian menjadi jalan baginya untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya selama ini. Di sanalah, dia berkenalan dengan Islam yang kemudian menjawab seluruh keraguannya. Allah SWT ternyata punya maksud lain atas takdir yang dijalani Jeremy.
Jawaban dari Surah al-Ikhlas
Jeremy tak langsung mengenal Islam ketika pertama kali menjejak Timur Tengah. Ketertarikannya pada agama Allah ini baru dimulai ketika sadar bahwa dia belum sepenuhnya membaca kitab lain, seperti Alquran dan Talmud (kitab kaum Yahudi). Selama ini, dia tak menyentuh kedua kitab itu karena perbedaan bahasa. Dia pun memutuskan untuk mencari Alquran terjemahan bahasa Inggris di negara yang menjadi pusat peradaban Islam itu.
Jeremy akhirnya meminjam Alquran dengan terjemahan bahasa Inggris di sebuah perpustakaan. Ketika meminjam, Jeremy diingatkan untuk memperlakukan kitab tersebut secara terhormat. Dia diingatkan untuk tidak meletakkan Alquran di atas lantai atau kursi. Dilarang pula, menduduki atau menginjak Alquran. Larangan lain, jangan membaca Alquran di lokasi tidak suci, seperti kamar mandi. Diingatkan pula untuk tidak membiarkan Alquran terbuka dalam kondisi terbalik.
Petugas perpustakaan itu juga memberi syarat tambahan, yakni selepas membaca Alquran diharapkan segera mengembalikannya ke atas rak. Usai dibaca, sebaiknya halaman terakhir jangan pula dilipat melainkan diberikan pembatas.
Jeremy merasa sedikit terganggu dengan aturan tersebut, lalu bertanya apa alasannya. Petugas perpustakaan menjelaskan bahwa Alquran berisi firman Allah yang Mahakuasa. Mendengar penjelasan itu, Jeremy bertekad memperlakukan Alquran sebaik mungkin.
Jeremy langsung jatuh cinta dengan apa yang dibaca lewat Alquran. Dia merasa sedang membaca intisari Injil dan Taurat. Padahal, bukan kedua kitab itu yang ia baca."Hal yang menarik dalam Alquran, tidak ada sebutan"Nabi Berkata" atau "Kata Allah Subhanahu Wa Ta'ala". Jadi, aku merasa seperti membaca apa yang disampaikan Tuhan kepadaku," ucapnya.
Ia mengaku sangat terenyuh ketika membaca surah al-Ikhlas. "Katakanlah, Dialah Allah, Yang Mahaesa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." Jeremy sangat terkejut. Inilah jawaban tentang Tuhan yang diinginkannya sejak dulu.
Tak lama kemudian terucaplah kalimat syahadat. Jeremy resmi menjadi Muslim. Tak lama setelah bersyahadat, ia melaksanakan shalat untuk pertama kalinya. Ia menghadap kiblat, lalu mengucap, ''Allahu akbar.''
Dia kemudian mengangkat kedua tangan ke atas lalu melipatnya di dada. Lalu membungkukkan badan, sujud, dan duduk di antara dua kaki. "Aku merasakan kualitas spiritual yang luar biasa saat itu. Alhamdulillah.''[ROL]