Islam di Burkina Faso: Menyebar Islam di Ladang Emas
Oleh Rosyid Nurul Hakim
Di era penjajahan Prancis, umat Islam dijadikan kepala dan sekertaris daerah bagi wilayah yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar non-Muslim.
Burkina Faso. Negara di Afrika Barat yang terkurung daratan itu mayoritas penduduknya beragama Islam. Menurut data yang dihimpun Pew Research Center dalam laporan Pemetaan Populasi Muslim di dunia pada 2009, sebanyak 59 persen penduduk negeri yang dulunya dikenal dengan nama Republik Volta Hulu (Upper Volta) itu adalah Muslim.
Jumlah pemeluk Muslim di negara yang berbatasan dengan Mali di sebelah utara; Togo dan Ghana di selatan; Niger di timur, Benin di tenggara; dan Pantai Gading di barat daya itu mencapai 9,29 juta jiwa. Burkina Faso merupakan nama yang diberikan Presiden Thomas Sankara, saat memimpin negeri itu pada 4 Agustus 1984.
Sejak kapan Islam bersemi di ‘’Negara Orang Jujur’’ itu? Adalah emas yang membuka jalan bagi umat Islam untuk masuk ke Burkina Faso, sebuah negara miskin di daerah Afrika Barat. Sebelumnya, dari abad XI sampai XIX, Burkina Faso didominasi oleh Kerajaan Mossi.
Kerajaan ini sangat ketat dengan agama yang dianut oleh masyarakatnya. Dengan segala cara mereka berupaya untuk membentengi masyarakatnya dari agama asing, termasuk Islam. Celah masuknya Islam ke negara itu baru terbuka pada sekitar abad XV.
Ladang emas Akan yang dibuka untuk publik mampu membetot perhatian pedagang Muslim. Melihat adanya peluang keuntungan, para saudagar Muslim pun membangun tempat tinggal di negara yang sempat menjadi koloni Prancis itu. Daerah-daerah di Afrika Barat memang dipercaya memiliki kandungan emas yang banyak.
Daerah kaya emas itu berada di daerah Greenstone Belts. Sabuk emas itu membentang sepanjang 3 juta kilometer persegi di Afrika Barat. Burkina Faso dipercaya memiliki cadangan sekitar 21 persen dari sabuk tersebut. Selain karena emas, para pedagang juga melihat adanya kesempatan memperjualbelikan kacang kola dan garam.
Para saudagar Muslim itu sebagian besar berasal dari orang-orang berbahasa Soninke dari daerah Timbuktu dan Djenne. Lama kelamaan mereka mengadaptasi dialek suku Malinke yang kemudian membuat mereka disebut orang-orang Dyula. Mereka membangun tempat tinggal di kota Bobo-Dyulasso, Kong, Bunduku, atau kota lain yang dekat dengan ladang emas.
Islam mulai menyebar mulai lewat perkawinan antara para saudagar Muslim dengan penduduk setempat. Seiring waktu, generasi-generasi Muslim baru bermunculan dari hasil perkawinan tersebut. Komunitas Muslim pun semakin meluas. Kelompok Muslim pun tanpa terasa sudah dianggap menjadi bagian dari masyarakat Kerajaan Mossi.
Orang-orang Dyula juga sangat peduli dengan pendidikan Muslim bagi generasi di bawah mereka. Setiap keluarga berkewajiban untuk mengajarkan Islam bagi anak-anaknya. Dalam struktur komunitas Muslim di sana, terdapat sebuah posisi yang disebut Karamoko, mereka adalah para ulama yang mengerti Alquran, tafsir, hadis, dan sejarah Nabi Muhammad.
Seorang Karamoko harus belajar giat agar bisa mendapatkan sorban dan ijazah sebagai tanda atau surat izin untuk mengajarkan Islam. Penyebaran Islam yang pesat di Burkina Faso, saat ini sekitar 60 persen penduduknya beragama Islam, juga dibantu oleh cara Prancis memerintah di negara tersebut.
Prancis menjadikan Burkina Faso sebagai daerah kolonialnya pada tahun 1919. Berbeda dengan kebijakan Kerajaan Mossi, pemerintahan kolonial ini justru tidak alergi dengan Islam. Mereka justru membantu penyebarannya Islam secara damai melalui perdagangan. Pihak kolonial menganggap umat Muslim, baik secara kultur maupun pendidikan jauh lebih baik dari sebagian masyarakat Afrika yang belum memeluk agama Islam.
Kepercayaan pemerintahan kolonial itu diwujudkan dengan diberikannya posisi penting bagi Muslim. Pemeluk agama Islam di Burkina Faso dijadikan kepala dan sekertaris daerah bagi wilayah yang dihuni oleh penduduk yang sebagian besar non-Muslim. Sehingga, angka pemeluk agama Islam di negara itu meningkat signifikan.
Pada akhir abad XIX, angka Muslim hanya sekitar 30 ribu jiwa saja. Pada 1959, karena pengaruh pemerintahan kolonial, jumlahnya menjadi 800 ribu jiwa. Itu artinya, pada masa itu, sekitar 20 persen penduduk Burkina Faso sudah memeluk Islam.
Hal lain yang mempengaruhi jumlah penduduk Muslim di Burkina Faso, menurut H Chmaza dari Universitas YARSI dalam tulisannya di Majalah Al-Hijrah, adalah adanya konflik horizontal di Pantai Gading pada 2002. Pihak oposisi dalam konflik tersebut, Allasane Dramane Ouattara, dianggap masih memiliki daerah Burkina Faso.
Sehingga para pengikutnya yang mayoritas Muslim mengungsi ke Burkina Faso dan menetap di negara itu. Menurut Chmaza, beberapa tokoh Muslim memiliki peran penting dalam perkembangan negara Burkina Faso. Seperti Menteri Luar Negeri, Yousouf Ouedraogo, Pengusaha terkenal EI-Hajj Oumarou Kanazae, Souleymane Kore, Mamadou Sawaidogu dan Al-Haji Sakande.
Meskipun saat ini Burkina Faso menjadi negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, konstitusinya masih memberikan kebebasan beragama bagi warga negaranya. Pemerintah sama sekali tidak mentoleransi kekerasan terhadap agama lain.
Burkina Faso juga tidak menjadi negara berdasarkan agama. Berdasarkan laporan pemerintah Amerika Serikat tahun 2005, baik Islam, Kristen ataupun agama tradisional di Burkina Faso bisa dengan bebas melakukan ibadah atau kegiatan keagamaan mereka yang lain tanpa ada campur tangan dari pemerintah.
Hukum negara itu juga memberikan kebebasan bagi setiap agama untuk mengekspresikan diri mereka. Berbagai macam publikasi, siaran radio atau televisi bernuansa agama diperbolehkan asal tidak menghina atau memicu konflik.