Sufi Bukan Ajaran Nabi
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi akhir zaman dan da’i yang menyeru kepada jalan Allah dengan ilmu dan keterangan.
Amma ba’du. Saudara-saudaraku sekalian kaum muslimin -semoga Allah semakin mempererat tali persaudaraan kita karena-Nya- perjalanan hidup kita di alam dunia merupakan sebuah proses perjuangan untuk menggapai keridhaan-Nya. Kita hidup bukan untuk berhura-hura atau memuaskan hawa nafsu tanpa kendali agama. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah (hanya) kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Bagi kita ajaran atau Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kehancuran dan mata air yang akan mengalirkan kesejukan iman. Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan Sunnah/ajaranku dan ajaran para khalifah yang berpetunjuk lagi lurus sesudahku, berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham serta jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam agama), sebab setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah pasti sesat.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Namun, ketahuilah saudaraku, kalau kita cermati lebih jauh ajaran sufi atau tasawuf dan berbagai macam tarekat yang dinisbatkan ke dalamnya beserta tetek bengek ajaran dan lontaran-lontaran aneh yang mereka angkat, niscaya akan teranglah bagi kita bahwa sebenarnya ajaran Sufi yang berkembang hingga hari ini -di dunia secara umum ataupun dinegeri kita secara khusus- telah banyak menyeleweng dari rambu-rambu Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana pernah disinggung oleh Buya HAMKA rahimahullah di dalam pidatonya dalam acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar di Mesir pada tanggal 21 Januari 1958 -lima puluh tahun yang silam-, beliau mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah daripada syirik dan bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7)
Inilah ucapan yang adil dan bijak dari orang besar seperti beliau. Berikut ini akan kami kutip penjelasan yang diberikan oleh Bapak Hartono Ahmad Jaiz -semoga Allah membalas kebaikannya- yang telah memaparkan mengenai sejarah ajaran sufi ini di dalam bukunya ‘Tasawuf Belitan Iblis’. Beliau mengatakan: “Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi’i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, “Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (aliran yang menyeleweng, aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia, orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura –menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama’ (nyanyian).
Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi’i adalah orang-orang sufi. Dan assama’ yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi’i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi’i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi’i sering berbicara tentang mereka, di antaranya beliau mengatakan: “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum zhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Dia (Imam Syafi’i) juga pernah berkata: “Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya.” (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Sekian nukilan kami dari Tasawuf Belitan Iblis.
Pembaca sekalian, dari keterangan di atas kita mengetahui bahwa Imam Syafi’i rahimahullah sendiri termasuk ulama yang mengecam kaum sufi dan ajaran tasawufnya yang menyimpang. Agar tidak terlalu berpanjang-lebar, maka baiklah untuk membuktikan penyimpangan mereka akan kita akan kutip kembali pendapat dan keyakinan mereka beserta komentar atas kerancuan yang ada di dalamnya, Allahlah pemberi petunjuk dan pertolongan kepada kita.
Pertama:
Orang Sufi berkata, “Kita berasal dari Allah. Menyembah hanya untuk Allah, Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.”
Tanggapan:
Yang menjadi masalah di sini adalah ucapannya “(kita) Hidup dan mati di dalam Allah. Karena kita bagian dari Allah.” Apakah maksud dari ucapan ini? Apakah artinya manusia adalah bagian dari Allah sebagaimana makna yang bisa secara langsung ditangkap dari ucapannya ataukah yang lainnya? Kalau yang dimaksud adalah yang pertama, maka sangat jelas kebatilannya. Allah bukan hamba dan hamba bukan Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56). Ayat ini menunjukkan bahwa manusia adalah ciptaan Allah, alias hamba dan bukan tuhan atau bagian dari tuhan!
Kalau ada orang yang meyakini demikian -dirinya adalah Allah- maka dia telah kafir. Lantas kalau yang dimaksud adalah makna yang lain, kita akan bertanya apa maknanya? Kalau pun maksud yang mereka inginkan benar, maka kita katakan bahwa ucapan-ucapan semacam ini adalah ucapan yang tidak pada tempatnya bahkan bid’ah! Adakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Adakah para sahabat, imam yang empat mengajarkan demikian? Bacalah kitab-kitab tafsir dan hadits… Wajarlah apabila Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelumz dhuhur ia menjadi orang yang dungu.” Cobalah kaum sufi itu berguru kepada Imam Syafi’i. Beliau rahimahullah mengatakan, “Aku beriman kepada Allah serta apa yang datang dari Allah sebagaimana yang diinginkan oleh Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah serta apa yang disampaikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diinginkan oleh Rasulullah.” (lihat Lum’at Al-I’tiqad). Apakah Allah atau Rasul-Nya mengajarkan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari-Nya? Kita hidup dan mati di dalam diri-Nya? Allah Maha suci dari ucapan mereka.
Kedua:
Orang Sufi berkata, “Allah ada di mana-mana. Tapi bukan berarti ada di mana-mana. Seluruh dunia ini terjadi [karena] Campur tangan Allah. Karena Allah tidak tidur. Di dalam diri kita ada Tuhan, manusia sendiri yang membuat HIJAB ( batasan) kepada Allah.”
Tanggapan:
Aneh bin ajaib! Menurutnya Allah di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana. Di dalam diri kita -katanya- ada Tuhan… [?] Maha suci Allah… Ucapan semacam inilah yang membuat orang semakin bertambah dungu -sebagaimana disinggung oleh Imam Syafi’i di atas-, adakah orang berakal yang mengucapkan perkataan seperti ini, “Allah ada di mana-mana tapi tidak ada di mana-mana” Allahu akbar! Apakah ada anak kecil yang mengatakan, “Saya laki-laki tapi bukan laki-laki” [?]
Padahal Allah ta’ala sendiri berfirman tentang diri-Nya (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Bagaimanakah kita memahami ayat ini? Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Jalan yang selamat dalam hal ini adalah jalan ulama salaf yaitu memberlakukannya sebagaimana adanya di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah tanpa membagaimanakan, tanpa menyelewengkan, tanpa menolak, dan tanpa menyerupakan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 5 hal. 202). Apakah ayat ini menunjukkan bahwa Allah membutuhkan Arsy sebagaimana sangkaan sebagian orang? Sama sekali tidak. Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah di dalam kitab Aqidah Thahawiyahnya, yang menjadi rujukan ulama dari keempat madzhab mengatakan, “Dan Dia (Allah) tidak membutuhkan Arsy dan apa pun yang berada di bawahnya, Allah meliputi segala sesuatu dan Dia berada di atasnya…” (dinukil dari Syarah Ibnu Abil ‘Izz dengan tahqiq Al-Albani, hal. 280)
Dikisahkan bahwa Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya mengenai orang yang mengatakan, “Aku tidak mengetahui apakah Rabbku di atas langit atau di bumi.” Maka beliau menjawab bahwa orang yang mengucapkan itu telah kafir, sebab Allah telah berfirman (yang artinya), “Ar-Rahman menetap tinggi di atas Arsy.” (QS. Thaha: 5). Sedangkan Arsy-Nya berada di atas tujuh lapis langit-Nya.” Kemudian ditanyakan lagi kepadanya bagaimana kalau dia mengatakan, “Allah berada di atas Arsy, tapi aku tidak tahu apakah Arsy itu di atas langit atau di bumi.” Maka Abu Hanifah berkata, “Dia juga kafir. Sebab dia telah mengingkari Allah berada di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari Allah berada di atas langit maka dia kafir.” (Syarh Ath-Thahawiyah, hal. 288). (Akan tetapi dalam prakteknya sekarang tentunya kita tidak begitu saja mengatakan kafir apabila bertemu orang yang berkata seperti di atas, karena untuk mengafirkan masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi -ed)
Ketiga:
Orang Sufi berkata, “Akan tetapi Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia. Karena sebegitu dekatnya…”
Tanggapan:
Subhanallah, tidak henti-hentinya kaum sufi ini berdusta dan mempermainkan kata-kata semaunya. Apakah Al-Qur’an dan As-Sunnah menyatakan bahwa Dzat Tuhan dapat dijumpai dan menyatu dalam diri manusia, karena sebegitu dekatnya? Sekali lagi inilah bukti bahwa orang-orang sufi telah meninggalkan ilmu dan terpedaya dengan akal mereka yang rusak. Untuk menanggapi ucapan semacam ini cukuplah kami kutip fakta sejarah yang dibawakan oleh penulis buku Tasawuf Belitan Iblis berikut ini:
“Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi’ah), tidak ada yang berasal dari Arab.
Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan penguasa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak.” (Sekian nukilan kami)
Kalau mereka mengatakan bahwa Allah bisa menyatu dalam diri mereka, lantas buat apa mereka beribadah, lantas untuk apa mereka menyembah, kalau semua orang mengaku dirinya adalah Allah maka siapakah yang akan disembah? Maha suci Allah, ini adalah kedustaan yang sangat besar! Kemudian, kalau mereka maksudkan dengan ucapan-ucapan itu makna yang lain, maka akan kita katakan bahwa ucapan ini adalah bid’ah dan tidak dikenal oleh para ulama salaf. Kalau ucapan-ucapan semacam ini dibiarkan maka syariat Islam akan berantakan. Ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada orang tua mempelai perempuan, “Saya terima nikahnya Fulanah binti Fulan.” Kemudian setelah itu dia akan berkata kepada si mertua “Saya terima nikahnya tapi tidak menerima nikahnya.” Lah, bagaimana ini? Sejak kapan orang-orang itu menjadi kehilangan akalnya? Rumah sakit jiwa lebih layak bagi orang-orang semacam itu daripada masjid.
Keempat:
Orang tersebut - semoga Allah menunjukinya - berkata, “Seluruh Imam Madzhab pada Akhirnya kembali kepada Sufi. Kecuali Wahabi..”
Tanggapan:
Saudaraku, kalau memang ajaran sufi dengan berbagai macam aliran tarekatnya adalah benar dan para imam madzhab mengikutinya apa alasan kami untuk tidak mengikuti kalian? Namun yang menjadi masalah adalah ajaran-ajaran sufi telah jelas terbukti penyimpangannya. Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, dan para ulama yang lain telah memaparkan kepada kita tentang kesesatan ajaran mereka. Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi orang sufi sekedar kata-kata yang bisa dipermainkan ke sana kemari. Allah ta’ala mengatakan bahwa Allah itu esa (Qul Huwallahu Ahad). Sementara orang-orang sufi mengatakan Allah menyatu dalam diri hamba-hambaNya, padahal hamba Allah itu banyak. Allah mengatakan bahwa diri-Nya tinggi berada di atas Arsy-Nya, sementara orang-orang sufi mengatakan Allah di mana-mana tapi juga tidak di mana-mana. Allahul musta’an, kalau memang boleh mengatakan demikian maka kita juga akan mengatakan “Semua Imam Madzhab pada akhirnya kembali kepada Wahabi. Kecuali sufi.” Allahu yahdik.
Saudaraku, kami tidak bermaksud untuk mencaci maki siapa pun, kami hanya ingin saudara kami kembali ke jalan yang benar, itu saja. Syaikh Ihsan Ilahi Zahir -rahimahullah- dalam kitabnya: Tashawwuf Al-Mansya’ Walmashdar (Tasawuf, Asal Muasal dan Sumber-Sumbernya) [halaman 28] berkata: “Jika kita amati ajaran-ajaran tasawuf dari generasi pertama hingga akhir serta ungkapan-ungkapan yang bersumber dari mereka dan yang terdapat dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu hingga kini, maka akan kita dapatkan bahwa di sana terdapat perbedaan yang sangat jauh antara tasawuf dengan ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah, begitu juga kita tidak akan mendapatkan landasan dan dasarnya dalam sirah (sejarah) Rasulullah serta para sahabatnya yang mulia yang merupakan makhluk-makhluk pilihan Allah. Bahkan sebaliknya kita dapatkan bahwa tasawuf diadopsi dari ajaran kependetaan kristen, kerahiban Hindu, ritual Yahudi dan kezuhudan Buda” (sebagaimana dikutip oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan hafizhahullah -salah seorang ulama besar Saudi Arabia- dalam bukunya Hakikat Tasawuf [terjemah], hal. 20)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang meniti jalan kefakiran, tasawuf, zuhud dan ibadah; apabila dia tidak berjalan dengan bekal ilmu yang sesuai dengan syariat maka akibat tanpa bimbingan ilmu itulah yang membuatnya tersesat di jalan, dan dia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. Sedangkan orang yang meniti jalan fikih, ilmu, pengkajian dan kalam; apabila dia tidak mengikuti aturan syariat dan tidak beramal dengan ilmunya, maka akibatnya akan menjerumuskan dia menjadi orang yang fajir (berdosa) dan tersesat di jalan. Inilah prinsip yang wajib dipegang oleh setiap muslim. Adapun sikap fanatik untuk membela suatu urusan apa saja tanpa landasan petunjuk dari Allah maka hal itu termasuk perbuatan kaum jahiliyah.” (Majmu’ Fatawa, juz 2 hal. 444. Asy-Syamilah)
Sebelum menutup tulisan ini, perlu kiranya kita ingat bersama dampak yang timbul akibat merebaknya ajaran sufi ini di masyarakat -khususnya di negeri kita ini- sebagaimana yang pernah kami saksikan sendiri bahkan kami dahulu termasuk di antara mereka -dengan taufik dari Allahlah kami meninggalkannya dan menemukan manhaj salaf yang mulia ini-, perhatikanlah dengan mata yang jernih dan pikiran yang tenang… bukankah tersebarnya pemujaan kubur-kubur wali dan orang-orang salih -yang notabene adalah syirik dan bid’ah- di negeri ini timbul karena dakwah dan ajaran sufi? Cermatilah wahai saudaraku yang cerdas… betapa ramainya kubur para wali dikunjungi dan dijadikan tempat untuk mencari berkah, berdoa, beristighotsah dan bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati. Dimanakah gerangan itu terjadi?, apakah di pusat-pusat dakwah salafiyah -yang hakiki- ataukah di pusat-pusat dakwah salafiyah yang sebenarnya lebih layak untuk disebut sufi? Padahal, kita semua mestinya sudah mengerti bahwa dosa kesyirikan adalah dosa yang tidak diampuni. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia akan mengampuni dosa di bawah tingkatan syirik itu bagi orang yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa’: 48)
Sebagaimana pula kebid’ahan bukan semakin menambah pelakunya dekat dengan Allah, namun justru semakin dekat dengan syaitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini salah satu lafazh Muslim). Simaklah keterangan Ibnu Hajar dan An-Nawawi berikut ini… semoga hati kita menjadi semakin mantap mengikuti kebenaran…. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Hadits ini tergolong pokok ajaran Islam dan salah satu kaidahnya. Makna dari hadits ini adalah; barangsiapa yang mereka-reka sesuatu dalam urusan agama yang tidak didukung dengan dalil di antara dalil-dalil agama yang ada maka hal itu tidak diakui.” (Fath Al-Bari, 5/341, lihat juga keterangan serupa oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim, 6/295). An-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalamnya terkandung bantahan bagi segala bentuk perkara yang baru (dalam agama), sama saja apakah yang menciptakan itu adalah pelakunya atau ada orang lain yang lebih dulu membuatnya.” (Syarh Muslim, 6/295). Itulah ucapan yang adil dan bijak dari dua orang ulama besar penganut madzhab Syafi’i…
Sungguh bijak ucapan buya HAMKA rahimahullah yang mengatakan, “Daripada gambaran yang saya kemukakan selayang pandang itu, dapatlah kita memahamkan bagaimana sangat perlunya pembersihan aqidah dari syirik, bid’ah dan ajaran tasawuf yang salah, yang telah menimpa negeri kami sejak beberapa zaman, dan perlunya kepada kemerdekaan pikiran dan memperbaharui paham tentang ajaran Islam sejati.” (Sejarah Perkembangan Pemurnian Ajaran Islam di Indonesia, penerbit Tintamas Djakarta, hal. 6-7. Buku ini dapat didownload di perpustakaanislam.com).
Semoga Allah berkenan memberikan taufik kepada saudara-saudara kami yang meninggalkan jalan yang lurus agar mereka kembali menuju jalan yang lurus itu kembali. Alangkah senangnya hati kami jika saudara-saudara kami mendapatkan hidayah, sebagaimana kami juga meminta kepada-Nya dengan nama-namaNya yang terindah dan sifat-sifatNya yang maha tinggi untuk mewafatkan kita di atas jalan yang lurus itu dalam keadaan Allah meridhai kita dan mengampuni segala dosa dan kesalahan kita. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengabulkan doa.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
***
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi/(muslim.or.id)