Taklukkan Medan Dakwah, Menantang Maut
Oleh: Susie Evidia Y
Ingar-bingar kehidupan Jakarta ditinggalkan, lalu hijrah ke pedalaman Dayak di Seruyan, Palangkaraya. Langkah ini dilakukan ustaz muda Ahmad Furqon sejak Februari 2012.
Baginya sederhana jika semua orang ingin berdakwah di kota. Lantas, siapa yang akan menyampaikan Alqudan dan hadis di pedalaman? Umat yang ada di sana pun, membutuhkan asupan dakwah yang sama. “Sebagai dai tak boleh pilih lokasi. Di mana pun harus siap,” kata Ustaz berusia 23 tahun ini.
Lulus dari Mahad Tahfiz Quran Hidayatullah, Cikarang, Bekasi, Furqon diterjunkan berdakwah seorang diri oleh Pimpinan Pusat Hidayatullah ke Seruyan. Jaraknya 200 km dari kabupaten kota. Ia harus memasuki hutan belantara. Tak ada rumah megah di sana. Sehingga, ia pun harus membangun tenda berbahan terpal sebagai tempat tinggal. Di sana tanpa penerangan, bahkan listrik belum menjamah daerah ini hingga sekarang.
Furqon berkisah bagaimana ia mesti menempuh puluhan kilometer untuk menuju lokasi dakwah yang jauhnya mencapai 80 hingga 90 km dari tendanya. Medannya tak rata, masih licin dan berbukit terjal. Pakaian harus selalu sedia dua helai karena jika musim hujan, akan basah kuyup, sedangkan musim kemarau penuh dengan debu. “Medan yang sulit ditempuh sehari semalam. Makanya, kalau dakwah, saya seminggu di pedalaman, setelah itu baru pulang.”
Menuju medan dakwah biasanya memakai motor. Tapi, kondisi kendaraannya harus prima. Karena, Furqon bersama temannya pernah mengalami bocor tengah malam di tengah hutan. Setelah jalan selama tiga jam, baru ditemukan desa terdekat.
Sasaran dakwah yang dituju pria asal Semarang ini adalah suku Dayak dan pendatang yang belum mengenal Islam. Setahun menjadi dai, Furqon sudah banyak mengislamkan warga suku Dayak Bakumpay. Mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak, remaja, hingga anak-anak antusias belajar Islam. Saat Ramadhan, para orang tua berebut memasukkan anak-anaknya mengikuti pesantren. Padahal, tempatnya terbatas hanya 4 x 6 meter, sedangkan santrinya lebih dari 20 anak.
Kendala utama adalah komunikasi. Orang pedalaman kurang paham bahasa Indonesia, sedangkan Furqon belum fasih bahasa Dayak. Contohnya, ketika dijelaskan tentang banyaknya jumlah nabi, masyarakat pedalaman menafsirkan ada nabi kayu, nabi air, nabi tanah. Ketika mau mencari ikan di sungai, harus izin ke nabi air. “Begitulah, saking awamnya mereka terhadap Islam dan pengaruh kepercayaan lama masih melekat,” ujarnya.
Namanya di pedalaman, Furqon mengakui, masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi umat di sana. Jumlah mushaf Alquran dan buku-buku doa masih sangat minim. Bacaan Iqra untuk anak-anak juga terbatas sehingga harus bergilir ketika belajar mengaji. Masih banyak pula Muslimah yang belum memiliki mukenah (rukuh --Red) serta sarung untuk para prianya.
Kebutuhan mobilitas dai pun sangat terbatas. Hanya ada satu motor yang digunakan untuk para dai. Tak jarang, ia harus bergantian memakai motor kala jadwal dakwah bentrok. Ini tak jadi soal. Hidupnya tetap bahagia. Meskipun secara finansial, tingkat ekonominya masih di bawah cukup. Kini, ia telah menikah dengan perempuan asal suku Dayak. Ia pun berseloroh, “Pedalaman juga bumi Allah. Dan, Allah yang telah menjamin rezeki, jodoh, hidup, mati bagi kami,” tuturnya mantap.
Banyak tantangan yang dihadapi saat terjun dakwah di pedalaman. Tak hanya sulitnya medan menuju lokasi, tetapi hambatan berupa ancaman fisik, bahkan kekerasan yang mempertaruhkan nyawa siap menerjang para dai terpilih tersebut.
Tetapi, bagi Ustazah Yeti Abdul Somad yang berdakwah di Asmat, Kabupaten Asmat, Jayapura, justru mengganggap berbagai rintangan itu menjadi penyemangat tersendiri. Peristiwa itu masih membekas di ingatannya hingga saat ini. Ketika harus melihat sang suami, Ustaz Abdul Somad, dipukuli oleh oknum antidakwah di depan mata telanjangnya dan buah hatinya. “Ketika saya membela, saya kena pukul juga,” katanya.
Tantangan berlipat pun menyusul lokasi dakwah perempuan berusia 27 tahun itu, yakni di kawasan minoritas Muslim. Belum lama ini, terjadi kasus pencekalan puluhan anak mualaf yang ingin belajar ke Jakarta oleh oknum tak bertanggung jawab. Hal tersebut mendorong Yeti dan sang suami mengubah strategi dakwah. Sebelumnya, dakwah berjalan secara terang-terangan, kini beralih sembunyi-sembunyi. “Ini lebih efektif sementara agar mereka dapat siraman rohani,” katanya.
Ia mengatakan, bisa saja dakwah berlangsung terbuka. Tapi efeknya, ancaman itu bukan hanya ditujukan kepada para dai dan daiyah, melainkan juga jamaahnya sendiri. Walaupun dakwah dilakukan diam-diam, tidak menyurutkan antusias masyarakat suku Asmat untuk masuk Islam. Mereka berbondong-bondong dari kampung ke kampung berikrar syahadat.
“Jumlahnya sudah sampai ratusan,” ujarnya. Bahkan, tidak sedikit orang tua membuat pernyataan resmi menyerahkan anaknya menjadi mualaf untuk selanjutnya mendapat pendidikan yang layak di Al Fatih Kaaffah Nusantara (AFKN).
Ada sekitar 30 anak mualaf pedalaman Asmat ini yang sekarang dibina di asrama, sekaligus tempat tinggal Yeti dan suaminya. Namun, jangan bayangkan asramanya ideal. Kondisinya serba terbatas. Masih banyak perlengkapan yang dibutuhkan di asrama maupun anak-anak. Di antaranya, kata ustazah asal Makasar ini, mereka membutuhkan pakaian, obat-obatan, serta perlengkapan ibadah.
Di beberapa lokasi pedalaman Asmat sudah berdiri mushola. Tapi, kondisinya memprihatikan. Ini disebabkan Asmat merupakan kawasan berlumpur sehingga mushola dibangun di atas lumpur. Padahal, kata Yeti, antusias para mualaf untuk menuntut ilmu Islam luar biasa walaupun kondisi musholanya sangat terbatas.
Sedangkan, di Kampung Per dan Kampung Us, Kabupaten Asmat, kini jumlah Muslimahnya semakin meningkat. Kedua kampung tersebut membutuhkan masjid, tapi belum bisa terealisasi karena masalah dana.(ROL)